Saturday, October 23, 2010

Di Atas Runtuhan Kota Melaka ~ Hamka

Di atas runtuhan Melaka lama,Penyair termenung seorang diri

Ingat Melayu kala jayanya, Pusat kebesaran nenek bahari


Di atas munggu yang ketinggian, Penyair duduk termenung seorang

Jauh pandangku ke pantai sana, Ombak memecah di atas karang


Awan berarak mentilau bernyanyi,Murai berkicau bayu merayu

Kenang melayang ke alam sunyi,Teringat zaman yang lama lalu


Sunyi dan sepi, hening dan lingau,Melambai sukma melenyai tulang

Arwah Hang Tuah rasa menghimbau,Menyeru umat tunduk ke Tuhan


Di sini dahulu alat kebesaran, Adat resam teguh berdiri

Duduk semayam Yang Dipertuan,Melimpahkan hukum segenap negeri


Di sini dahulu Laksamana Hang Tuah, Satria moyang Melayu jati

Jaya perkasa, gagah dan mewah, ‘Tidak Melayu hilang di bumi’


Di sini dahulu paying terkembang, Megah Bendahara Seri Maharaja

Bendahara yang cerdik tumpuan dagang, Lubuk budi laut bicara


Penyair menghadap ke laut lepas, Selat Melaka tenang terbentang

Awan berarak riak menghempas, Mentari turun rembanglah petang


Wahai tuan Selat Melaka, Mengapa tuan berdiam diri?

Tidakkah tahu untung hamba, Hamba musafir datang ke mari


Di mana Daulat Yang Dipertuan, Mana Hang Tuah, mana Hang Jebat

Mana Bendahara johan pahlawan, Bukankah jelas di dalam babad


Namanya tetap jadi sebutan, Bekasnya hilang payah mencari

Sedikit penyair bertemu kesan, Musnah dalam gulungan hari


Mengapa ini bekas yang tinggal, Umat yang lemah terkatung-katung

Hidup menumpang tanah terjual, Larat wahai larat dipukul untung


Adakah ini bekas peninggalan, Belahan diriku umat Melayu

Lemah dan lungai tiada karuan, Laksana bunga terkulai layu


Jauh di darat penyair melihat, Gunung Ledang duduk termangu

Tinggi menjulang hijau dan dahsyat, Hiasan hikayat nenekku dahulu


Di dalam kuasyik merenung gunung, Di dalam kemilau panas kan petang

Tengah khayal dirundung menung, Rasanya ada orang yang datang


Penyair hanya duduk sendiri, Tapi keliling rasanya ramai

Bulu romaku rasa berdiri, Berubah warna alam yang permai


Ada rasanya bisikan sayu, Hembusan angin di Gunung Ledang

Entah puteri datang merayu, Padahal beta bukan meminang


Bukanlah hamba Sultan Melaka, Jambatan emas tak ada padaku

Kekayaanku hanya syair seloka, Hanya nyanyian untuk bangsaku


Justeru terdengar puteri berkata, Suaranya halus masuk ke sukma

Maksudmu tuan sudahlah nyata, Hendak mengenang riwayat yang lama


Bukan kuminta jambatan emas, Tapi nasihat hendak kuberi

Kenang-kenangan zaman yang lepas, Iktibar cucu kemudian hari


Sebelum engkau mengambil simpulan, Sebelum Portugis engkau kutuki

Inggeris Belanda engkau cemarkan, Ketahui dahulu salah sendiri


Sultan Mahmud Shah mula pertama, Meminang diriku ke Gunung Ledang

Segala pintaku baginda terima, Darah semangkuk takut menuang


Adakan cita akan tercapai, Adakan hasil yang diingini

Jika berbalik sebelum sampai, Mengorbankan darah tiada berani


Apalah daya Datuk Bendahara, Jikalau Sultan hanya tualang

Memikir diri seorang sahaja, Tidak mengingat rakyat yang malang


Sultan Ahmad Shah apalah akalnya, Walaupun baginda inginkan syahid

Mualim Makhdum lemah imannya, ‘Di sini bukan tempat Tauhid’


Bendahara Tua Paduka Raja, Walaupun ingin mati berjuang

Bersama hilang dengan Melaka, Anak cucunya hendak lari pulang


Berapa pula penjual negeri, Mengharap emas perak bertimba

Untuk keuntungan diri sendiri, Biarlah bangsa menjadi hamba


Ini sebabnya umat akan jatuh, Baik dahulu atau sekarang

Inilah sebab kakinya lumpuh, Menjadi budak belian orang


Sakitnya bangsa bukan di luar, Tetapi terhunjam di dalam nyawa

Walau diubat walau ditawar, Semangat hancur apalah daya


Janjian Tuhan sudah tajalli, Mulialah umat yang teguh iman

Allah tak pernah mungkirkan janji, Tarikh riwayat jadi pedoman


Tidaklah Allah mengubah untung, Suatu kaum dalam dunia

Jika hanya duduk terkatung, Berpeluk lutut berputus asa


Malang dan mujur nasibnya bangsa, Turun dan naik silih berganti

Terhenyak lemah naik perkasa, Bergantung atas usaha sendiri


Riwayat yang lama tutuplah sudah, Apalah guna lama terharu

Baik berhenti bermenung gundah, Sekarang dibuka lembaran baru


Habis sudah madahnya puteri, Ia pun ghaib capal pun hilang

Tinggal penyair seorang diri, Di hadapan cahaya jelas membentang


Pantai Melaka kulihat riang, Nampaklah ombak kejar-mengejar

Bangunlah Tuan belahanku saying, Seluruh Timur sudahlah besar


Bercermin pada sejarah moyang, Kita sekarang mengubah nasib

Di zaman susah atau pun riang, Tolong tetap dari Yang Ghaib


Bangunlah kasih, umat Melayu, Belahan asal satu turunan

Bercampur darah dari dahulu, Persamaan nasib jadi kenangan


Semangat yang lemah dibuang jauh, Jiwa yang kecil kita besarkan

Yakin percaya, iman pun teguh, Zaman hadapan, penuh harapan


Bukanlah kecil golongan tuan, Tujuh puluh juta Indonesia

Bukan sedikit kita berteman, Sudahlah bangun bumi Asia


Kutarik nafas, kukumpul ingatan, Aku pun tegak dari renungku

Jalan yang jauh aku teruskan, Melukis riwayat sifat hidupku


Kota Melaka tinggallah sayang, Beta nak balik ke Pulau Percha

Walau terpisah engkau sekarang, Lambat launnya kembali pula

Walaupun luas watan terbentang, Danau Maninjau terkenang jua


~ Hamka

No comments:

Post a Comment